Setelah sekian lama, aku memberanikan diri lagi buat nulis cerita ini. Kali ini tuh ada banyak banget hal yang terjadi dan sebenernya aku masih harus banyak nulis tumpukan cerita tapi tangan aku keburu keriting jadi beberapa masih aku pendem di otak :(
Oh iya, aku juga ada alasan sih kenapa aku mencoba memberanikan diri buat nulis cerita ini lagi. Ya, jujur karena aku merasa terbebani banget dengan hal-hal yang terjadi beberapa waktu ini. Lagi, aku juga masih mengalami kecemasan juga ke khawatiran yang belum pernah usai.
Aku belum bisa menjadi individu yang percaya diri, aku masih dihantui juga sama ekspektasiku yang tinggi ataupun harapan dari keluarga juga pandangan orang lain terhadap pencapaianku. Saat ini aku bener-bener stress, tertekan dan perasaan kompleks lainnya.
Berhubung udah lama banget yaa aku berhenti nulis cerita ini jadi aku lupa detail-detail kisah ini karena yang aku pikirkan cuman yang terburuknya aja saking traumatisnya buat aku. Jadi aku akan coba buat sambungin kisah sebelumnya aja.
Dipuncak perasaanku yang begitu memuakkan, bahkan rasanya aku merasa seperti mencekik diriku sendiri, menenggelamkan diriku dengan ketakutan, ke khawatiran serta kecemasan yang ngga ada habisnya. Disela aku menangis dan napasku yang tersengal-sengal. Aku membuka sebuah platform konseling online dan membayar satu paket konseling dengan 4 kali pertemuan selama 60 menit dengan nilai bayar sebanyak Rp. 350.000. kalo dipikir sekarang, setidaknya aku bisa membeli satu album BTS series lama :(
Ngga lama, ada beberapa pesan otomatis yang merupakan bagian assesment awal. Pada assesment awal aku menceritakan segala hal yang aku rasa dan sebagainya. Lalu beberapa jam kemudian, psikolog yang aku pilih mengirimkan pesan, beliau memperkenalkan diri dan menjelaskan terkait dengan konseling yang akan aku lakukan. Selain itu, beliau juga menawarkan jadwal sesi konseling pertama dan aku memilih di tanggal yang sama yaitu 11/02/2022 pukul 22.00 malam.
Setelah sesi konseling pertama selesai, jujur aku belum merasakan apapun, aku justru sedikit kesal dengan respon psikolog yang terkesan asal-asalan atau ngga niat dalam menanggapi ceritaku. Disisi lain respon itu buat aku jadi mikir "apa aku lebay dengan perasaan dan pikiran aku?" ; "Apa aku yang terlalu berlebihan?" ; "Apa sebenernya masalah aku ini sangat ringan tapi akunya yang anggepnya gedhe banget?"
Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Jadi aku persingkat saja sesuai dengan apa yang aku ingat saat ini.
Hmm, setelah kejadian dosen pembimbing aku yang menawarkan topik 'kekerasan seksual' di sebuah lembaga aku pun dengan sangat terpaksa pergi ke kota rantauanku.
Saat itu yang ku takutkan adalah "apakah aku sanggup menghadapi semuanya sendiri?" ; "Bagaimana kalo tiba-tiba aku berubah gila dan mati bunuh diri, lalu tidak ada yang menolongku?" Meskipun begitu aku tetap datang ke kota itu.
Sesampainya di kosan, aku bertemu dengan teman satu angkatan (beda jurusan), dia sama-sama sedang mengerjakan skripsi, dan waktu itu kami berbagi cerita juga keluh kesah dengan apa yang kami alami. Apa yang dia ceritakan waktu itu memiliki kemiripan dengan kisahku. Sejujurnya saat itu aku sedikit lega karena bisa membagikan kisahku dan perasaanku dengan teman seperjuangan.
Selama di kosan aku menjalani rutinitas baru yaitu belajar meditasi selama 15-20 menit untuk membantuku mengelola kecemasanku.
Di hari selanjutnya, aku pergi ke gedung fakultasku untuk meminta surat pra-riset di lembaga yang rencananya akan aku teliti. Aku sedikit kesal, karena bukannya langsung dibuatkan, petugasnya justru memintaku mengirimkan informasi data melalu Whatsapp dan memintaku menunggu sampai surat pra-riset itu jadi.
Aku lupa kapan surat itu jadi entah sore hari atau justru keesokan paginya yang jelas setelah surat itu jadi aku segera mencetak dan membawanya ke lembaga yang rencananya akan aku teliti itu.
Terkait dengan lembaga itu, aku sudah mencari tahu beberapa sumber informasi melalui penelitian terdahulu, melihat google search dan google maps untuk mengetahui lokasi lembaga itu.
Sampai aku tiba di lembaga itu sekitar pukul setengah 9 yang ternyata tutup. Dengan perasaan panik dibalut dengan ketenangan aku menanyakan beberapa informasi pada orang sekitar dan alhamdulillah nya beliau orang yang peduli. Beliau adalah seorang pria paruh baya, dilihat gayanya beliau seperti pengurus kebersihan di lembaga itu. Berbanding terbalik dengan pria berusia awal 30-an yang saat kutanya justru memberikan kesan angkuh dan tidak peduli.
Pengurus kebersihan itu yang pada akhirnya memberitahuku kalo lembaga tersebut sudah buka sehingga aku bisa segera bersiap-siap pergi kesana di hari selanjutnya.
Dengan perasaan gugup setengah mati, para ibu-ibu yang notabenya adalah pengurus di lembaga itu awalnya hanya memandangku dan terus saja mengobrol dengan pengurus lain. Setelah menunggu, akhirnya aku mendapatkan momen untuk memperkenalkan diri dengan cara berbicara yang sangat menunjukan ke gugupan aku.
Salah satu ibu pengurus disana berbicara seolah-olah meledek kegugupanku (meskipun 'mungkin' niatnya hanya 'bercanda') tapi aku berusaha memaklumi dan bersabar.
Setelah berusaha mencari kesempatan untuk mendapatkan rekaman wawancara, aku menanyakan hal paling penting dimana aku berharap aku bisa mewawancarai korban kekerasan seksual. Namun, ibu itu dengan nada yang ngga mengenakan menjawab dengan tegas kalo aku tidak diperbolehkan mengambil data korban tersebut.
Bagaimana perasaanku? Aku stress sekali, judulku yang akhirnya mendapat persetujuan pembimbing kini harus berhenti di lembaga itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan aku memutuskan untuk kembali berkonsultasi dengan dosen pembimbingku yang justru memintaku untuk mengkonsultasikannya ke kepala jurusan.
Aku bingung harus seperti apa menceritakannya kepada kajurku karena cerita ini akan sangat panjang. Namun, bagaimanapun aku tetap menceritakannya.
Namun yang kudapat adalah aku seperti dilempar kesana-kemari. Yaa kajurku meminta supaya aku menanyakan permasalahanku kepada dosen pembimbingku. Hal ini terulang selama berkali-kali. Rasanya sakit sekali, hatiku patah sepatah-patahnya. Sampai pada akhirnya aku dipastikan harus mengganti judul penelitianku, setelah kesekian kali dan mengulangi semuanya dari awal.
Dihari terburukku sekalipun tiba-tiba ibukku mengirimiku sebuah pesan WA, "apakah aku sudah sembuh?" Ibu bertanya seperti itu karena seminggu sebelumnya aku melakukan vaksin dosis 3.
Waktu itu, bahkan rasa sakit akibat vaksin dosis 3 sama sekali tidak bisa aku rasakan karena luka akibat skripsi jauh lebih menyakitkan.
Aku menangis, bahkan rasanya aku tidak pernah menangis sehebat itu setelah sekian tahun lamanya. Tangisan yang sama sekali tidak bisa aku hentikan, air mata yang terus mengalir, napas yang tersengal-sengal, rasa putus asa yang teramat menyakitkan. Bahkan hanya sekadar berbicara pun aku tidak bisa.
Ego yang selama ini aku pertahankan, keras kepalanya aku yang selama ini membentengiku, rasa percaya diri yang tersisa secuil, harga diri yang semakin tidak ada. Semuanya lenyap tak tersisa. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis tersedu-sedu. Bahkan luka yang aku alami jauh sangat jauh lebih besar dari rasa laparku. Waktu itu aku benar-benar tidak berdaya, ditengah kesendirianku, rasa sepi yang aku alamin sendiri dikamar kecil berwarna putih membuatku takut "apakah aku bisa bertahan?"
Setelah sekian lama memendam luka akhirnya aku membuka diri pada ibukku, aku menceritakan ketakutanku, apa yang aku rasakan, setiap kejadian yang aku alami, luka-luka yang aku alami.
Ibukku memang bukan tipe ibu yang mampu berbicara dengan kata indah, disisi lain aku kecewa karena sebenarnya aku juga membutuhkan kata-kata indah itu disaat terpurukku meskipun hanya sebuah kebohongan.
Tapi satu hal yang ku ingat, ibukku bilang supaya aku makan-makanan yang enak, makanan yang aku suka atau pergi ke tempat teman-teman KKN ku atau pergi ke tempat sudaraku.
Dalam pikirku aku menjawab, pertama, membeli makanan enak, makanan yang aku suka itu membutuhkan uang, jika aku membeli makanan itu, otomatis biaya hidupku selama di kosan berkurang dan sulit buat aku meminta uang pada orang tuaku. Kedua, pergi ke tempat temen-temen KKN, aku memang bahagia ketika bersama mereka, mereka adalah teman-teman yang menyenangkan, mereka baik hati, mereka mengayomi aku tapi sedekat apapun aku, aku tidak bisa menyentuh mereka. Selain itu, mereka mempunyai kehidupan mereka sendiri, ngga ada alasan bagiku buat datang kesana karena fase yang menyenangkan itu tidak akan pernah kembali. Ketiga, pergi ketempat saudaraku, "apa yang harus aku bicarakan? Bercerita tentang kegagalanku? Kalo aku merasa kesulitan?" Aku tidak bisa membuka kelemahan dan ketidak berhargaan diriku dengan keadaanku yang sangat terpuruk. Jadi aku menolak saran itu.
Waktu itu juga, teman dekatku belum datang jadi aku tidak bisa menghubunginya. Saat itu, aku benar-benar sendirian. Meskipun dikosan aku waktu itu ada 2 adik tingkatku. Tapi aku bukan kating yang mudah berbaur jadi hubungan kami pun tidak dekat.
Aku menangis sepanjang hari tanpa henti bahkan aku semakin sulit tertidur, ketakutan, kekhawatiran dan kecemasanku jauh lebih besar dari rasa kantukku.
Tangisanku berlanjut sampai keesokan harinya tanpa henti. Orang tuaku dan kakaku berusaha membantuku mencari judul baru, aku pun juga berusaha mencari judul baru, ada banyak sekali judul yang aku tawarkan namun dosen pembimbingku sampai bosan menolakku, aku bahkan merasa dosenku ini cukup kesal dengan sikapku, beliau juga mengirimkan beberapa contoh penelitian ataupun skripsi yang beliau inginkan namun aku pun juga sangat kesulitan dengan itu semua.
Selama itu pula air mataku tak kunjung berhenti, bukannya aku tak berusaha menghentikan tangisku, tapi memang tidak bisa berhenti, bahkan ketika aku hanya diam, menatap langit kamar dan mendengar suara napasku, air mataku tak pernah berhenti.
Di Jumat pagi Kakakku menelponku dia memberikanku ceramah supaya aku kembali berjuang, dia memberi saran agar aku mengganti dosen pembimbingku melalui kajurku. Disela telpon aku sama sekali ngga bisa menghentikan tangisku seberapa banyak aku mencoba aku ngga bisa menghentikannya, bahkan beberapa kali aku terdiam dan menangis sesenggukan.
Dengan mata dan muka yang bengkak ditambah suara yang serak siang hari selepas jumatan aku datang menemui kajurku. Namun aku harus menunggu sampai pukul setengah 4 sore dan dengan berusaha setenang mungkin memberanikan diri menjelaskan maksud kedatanganku.
Dengan telingaku yang terpasang lebar, kajurku mengatakan kalo aku tidak bisa mengganti dosen pembimbingku beliau bilang jika dosen itu selama ini tidak bermasalah dan seharunya aku mengikuti apa yang dosen pembimbingku sarankan.
Aku keluar dengan perasaan tak karuan, aku menangis tapi bisa ku kontrol dan menghubungi kakakku. Aku sangat kesal karena kakaku sendiri justru sama kebingungannya dengan aku, seolah dia juga angkat tangan dan pasrah dengan apa keputusanku.
Aku pun pulang ke kosan dengan perasaan kosong, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Bahkan hanya sekadar ekspresipun aku udah ngga tahu lagi harus kayak gimana? Kosong saking kosongnya aku pasrah dengan keadaan. Bukan, lebih tepatnya berusaha untuk tidak peduli.
Hari itu, aku mencoba untuk mendekatkan diri pada Allah, aku berdoa dengan rasa takutku, aku berdoa dengan rasa putus asaku, aku berdoa dan memohon untuk mendapatkan keringanan dalam menghadapi proses ini.
Saat itu sedikit demi sedikit aku mulai berusaha memperbaiki diri, mengistirahatkan diri dari segala hal termasuk skripsi. Aku tidak lagi mencari jurnal mati-matian (aku mencari sampai google menganggapku robot dan aku tidak diberikan akses untuk melakukan pencarian lagi. Hal itu terjadi berkali-kali.), aku mematikan notifikasi whastapp, intinya aku berusaha menangkan diriku dari setumpuk masalah yang aku alami selama berturut-turut.
Di hari Minggu aku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota. Bukan untuk belanja, karena aku ngga punya uang untuk aku hamburkan. Aku hanya berjalan memutari mall, memasuki setiap toko yang ada, dan terakhir membeli satu buah es krim dan menikmatinya di sudut restoran.
Rasanya, aku tidak pernah semenikmati ini, aku merasa tenang, nyaman dan aku bisa sedikit bernapas karena selama ini napasku selalu sesak.
Ohh, aku ngga sendiri ternyata ada Uri Bangtanie live yang temenin aku hari itu.
Sampai pukul 15.30 (setelah Bangtan selesai live) aku melanjutkan perjalananku ke mall seberang, kemudian berjalan melihat barang-barang yang TIDAK BISA aku beli. Lalu pulang ke kosan aku dengan perasaan sedikit lebih baik.
Saat itu untuk pertama kalinya aku merasakan bahwa ternyata "sendiri tidak semenakutkan itu. Bukan karena stigma orang, aku takut karena situasi yang akan terjadi." Dan semenjak saat itu, pergi sendiri adalah salah satu bentuk kebiasaanku.
Keesokan harinya aku tetap melakukan konseling, aku menceritakan beberapa hal yang terjadi dan mendapatkan beberapa feedback. Disisi lain aku terus memperbaiki kualitas ibadahku, aku juga belajar membaca al-quran dan berusaha untuk khatam.
Selama beberapa hari masa rehatku aku pergi ke perpustakaan dari pukul 08.00 pagi sampai waktu dzuhur. Kegiatan yang aku lakukan? Aku hanya membaca, membaca banyak buku metode penelitian, buku-buku psikologi lainnya yang bisa aku baca. Aku bahkan bertemu dengan salah satu teman KKN ku yang kebetulan sangat aku cari kehadiran dia karena aku membutukan aplikasi mendeley yang ia punya.
"Terimakasih yaa, bertemu kamu waktu itu adalah hal baik pertamaku."
Ketika keadaan mentalku mulai membaik aku mulai berusaha kembali. Ah, aku juga selalu berkeluh kesah di twitter dan mendapatkan banyak empati dan masukan dari pengguna twitter. Bahkan ada yang bersedia membantuku untuk membuatkan judul dan mengajariku beberapa hal.
Sampai aku pun mengajukan beberapa judul baru dan dosen pembimbingku menyetujui salah satu judul yang aku buat sendiri.
Perasaanku? Tidak percaya tapi aku belum bisa bahagia. Hanya 0,001% aku merasa lega. Selebihnya aku tetap takut jika terulang kembali.
Singkatnya, aku membuat proposal dan mengajukannya ke dosen pembimbingku. Waktu itu aku berusaha tenang dan mengontrol segala hal yang aku lakukan dan aku sedikit terkejut karena dosen pembimbing pertama kalinya bersikap hangat padaku, beliau menanyakan kabarku, menanyakan bagaimana perasaanku selama ini, bahkan beliau juga meminta maaf padaku begitupun dengan aku. Aku pun mengakui sifat keras kepalaku dan mengakui segala kesalahanku. Hari itu kami ngga berbincang banyak tentang proposalku, kami justru berusaha menjalin hubungan kami kembali yang pernah retak.
Singkat cerita akhirnya aku bisa melanjutkan proses skripsiku dan dosen pembimbingku memintaku untuk menyelesaikan BAB I-III dan sekarang aku sedang berusaha menyusun BAB III.
Lalu bagaimana perasaanku saat ini? Aku masih cemas, khawatir dan takut. Tapi aku tetap berusaha sedikit demi sedikit melalui ini. Tolong doakan aku supaya aku bisa segera lulus dan dimudahkan segala urusanku yaa ..
Aku harap aku bisa lulus menjelang akhir tahun ini. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar