Meminum obat tidur dan alkohol setiap hari atau bahkan setiap waktu adalah hobiku. Tak ada lagi candu yang senikmat itu. Bagaimana tidak? Meminum obat tidur dapat membuatku tidur nyenyak setiap malam tanpa memikirkan masalah. Saat menenggak alkohol akan memberikan rasa pahit, manis dan sakit ditenggorokan tapi jujur itu sangat nikmat, dimana lama kelamaan otakku terasa kosong, dan aku merasakan euphoria di seluruh tubuhku, semakin banyak aku menenggaknya semakin nikmat pula rasanya, bukan di lidah tapi di perasaan. Beban akan menghilang seketika, terakhir yang paling menyenangkan adalah saat pandanganku mulai berkabut dan aku tak sadarkan diri.
Entahlah, tak ada lagi yang berharga dari hidupku. Aku hanya melakukan rutinitas biasa. Bangun tidur dengan kepala pening, mandi seadanya, makan seadanya, bekerja, pulang, minum whiskey tengah malam diatas balkon apartmen dan saat aku sudah mabuk aku mulai beranjak masuk dan tidur. Begitu terus. Setidaknya dengan begitu aku bisa melupakan sesuatu yang tidak ingin aku ingat. Mencari kebahagiaan dengan cara yang lain.
Aku tak memiliki siapapun lagi, kecuali keluargaku tetapi mereka tak pernah tahu kebiasaan burukku. Sebisa mungkin aku berlaku baik. Aku tak peduli lagi apapun yang terjadi. Kehidupan ini cukup mengoyak jiwaku.
Bahkan disepanjang jalan ini aku hanya mendengarkan musik lewat earphone yang mengalun keras di telingaku. Berjalan seperti mayat hidup yang tidak peduli dengan sekitar. Entahlah kadang aku ingin mati, tapi jujur aku tak berani bunuh diri. Yah, tapi kalau dipikir aku sudah membunuh diriku secara perlahan dengan gaya hidup burukku. Aku tak peduli.
Setelah puas menyusuri jalan kota, aku kembali ke apartment ku saat hari menjelang petang, sampai tak terasa malam pun muncul dengan kabut tipis ditambah udara terasa sedikit panas dan gerah, pertanda hujan. Sedih, aku merasa sedih. Pikiranku mulai kalut dan tak menentu. Suasana hatiku menjadi down rupanya fase depresiku kembali. Aku mengambil sebotol beer dan menghangatkan beefsteak yang baru kubeli tadi. Setelah semuanya siap aku memakannya dengan malas, suasana ini membuatku muak bahkan alunan musik klasik pun tak mengubah suasana hatiku. Makin lama moodku down lebih parah, air mataku mulai membanjiri pipi, menangis sesenggukan dengan isakan kecil. Makin lama airmata semakin deras isakan tangisku semakin keras terdengar. Aku menggeser piring makan, gelas dan benda-benda di depanku hingga terpelanting jauh dan pecah. Aku marah, benci dan sedih. Nafasku berubah tak beraturan, jantungku berdegup kencang, perasaan ini terlalu kuat. Aku pun memutuskan untuk pergi keluar apartment dan berlari sejauh yang aku bisa. Lagi-lagi aku tidak tahu tempat mana yang harus aku tuju, aku hanya berlari secepat yang bisa dengan airmata yang terus bercucuran. Perasaan ini terlalu memuakkan untuk dibiarkan jika hanya duduk atau berdiam di suatu tempat.
Tanpa kusadari ternyata aku sudah berlari sangat jauh dan mulai merasa kelelahan hingga aku memutuskan untuk berhenti dan berkunjung ke tempat dimana tidak semua orang menyukainya.
***
Aku menghisap sebuah rokok kuat-kuat kemudian menghembuskan asap ke udara, mengambil segelas penuh wine menegaknya sampai habis.
"Aku pikir kamu anak baik, polos dan lugu" kata seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku tersenyum sinis "benarkah? Aku tidak pernah merasa begitu." Aku menuangkan wine lagi ke dalam gelasku dan menegaknya habis.
"Sepertinya aku tidak salah, benarkan?"
Aku hanya tertawa. "Memang apa saja yang kau tahu tentang aku?" Aku menghembuskan asap rokok lagi.
"Hmm .. aku memang tidak tahu banyak. Tapi aku yakin itu." Ucapnya sedikit berbisik
"Lebih baik kau diam, dan pergilah." Aku menghembuskan asap rokok ke mukanya dan menenggak wine yang baru saja aku tuang lagi.
"Apa kau tidak membutuhkanku? aku bisa menjadi teman minummu."
Aku menghisap rokok lagi, " aku? Membutuhkan teman? Bahkan hidup tanpa mereka saja aku bisa. Kau? Kau menawariku untuk minum denganmu? Lebih baik kau mati, aku tidak membutuhkanmu." aku kembali tertawa sinis, mengejeknya hina.
"Sepertinya kau ada masalah?" Dia melihat kearah wajahku yang sengaja memalingkan pandang darinya.
"Aku? Tidak?" Jawabku datar.
"Lalu, untuk apa kau datang ke sini?" Dia kembali menegakkan badan.
"Aku? Selalu berada disini. Kau tidak tahu? Ini hidupku sekarang" aku menuangkan wine lagi ke dalam gelasku dan meminumnya sedikit seperti cecapan saja.
"Wow, aku tidak percaya ini? Aku dengar keluargamu dari keluarga baik-baik. Aku yakin mereka pasti sangat terkejut jika tahu kau ada disini, meminum wine ini dan menghisap rokok." Di mengajaku cheers dan aku membalasnya kemudian meminum setengah gelas alkohol.
"Hahahaha ... Kau pikir mereka akan percaya?" Aku kembali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya. " Mereka tidak akan peduli, meskipun aku menangis dan mengeluarkan darah sekalipun." Aku menatap kesegala arah dengan nanar.
"Ouh, kau sudah keterlaluan. Aku tidak percaya ternyata kau seperti ini." Dia tersenyum sinis.
"Lalu, kau sendiri untuk apa kau kesini? Bukankah kau sama seperti aku?" Aku mencecap minumanku dan menaruh gelas tinggi secara perlahan di meja. Sesaat aku menoleh kearahnya, menunggu jawaban. Dia diam, tak berkata meskipun mulutnya sedikit membuka hendak menjawab. Merasa tak ada respon, aku kembali meminum wine ku kemudian menaruhnya lagi diatas meja dan menoleh kearahnya. "Kau tidak ingin pergi, aku muak melihatmu".
"Kau !! Sepertinya aku harus meluruskan sesuatu. Aku bukan orang sepertimu yang bisa membunuh seseorang hanya karena kau tidak menyukai orang tersebut." Katanya kemudian pergi.
Aku menghabiskan minumanku dan membuang rokokku yang masih sisa setengah dan menginjaknya. Kesal.
"Kalau saja kau bukan orang yang berpengaruh untukku, aku pasti sudah membunuhmu dari dulu. Dasar, bajingan kurang ajar itu."
****
"Kau mabuk" seseorang yang berbeda kembali datang kearahku. Aku bahkan tidak tahu kenapa orang asing selalu berdatangan padahal jelas sekali jika aku membenci mereka semua.
"Tidak usah pedulikan aku." Aku menghempaskan tangannya ketika dia hendak menuntunku.
"Tidak seharusnya kau seperti ini, kau terlihat menyedihkan." Dia menatapku ketika kami berhenti berjalan.
Aku menatapnya dengan air mata di pelupuk mataku. "Apa kau bilang? Aku menyedihkan? Menjauhlah, jangan mendekat! Kau tidak tahu apa-apa tentang aku." Aku menatapnya penuh kemarahan.
"Kau mau menghindariku?" Dia terus saja mengejarku. Dan memegang tanganku yang kosong. Aku menghempas kasar tangannya dan berjalan menjauh darinya, meminum alkohol yang aku bawa dengan botol.
Dia mengejarku menarik botol alkohol yang aku minum dengan kasar. Aku terkejut. Aku marah. "APA YANG KAU LAKUKAN?"
"Menghentikanmu!."
"KAU TAHU APA? APA SUSAHNYA SIH MENJALANI HIDUPMU SENDIRI? AKU SUDAH MUAK DENGAN HIDUPKU, HARUSKAH ORANG SEPERTIMU JUGA MENGHANCURKAN AKU? KENAPA? KENAPA SEMUA ORANG INGIN MENGHANCURKAN AKU, HAH? APAKAH MEREKA IRI DENGAN HIDUPKU?" aku menangis, aku tak tahan lagi. Aku merebut botol alkohol.
"Ceritakan padaku? Aku akan mendengarkannya." Dia kembali merebutnya kali ini dengan lembut.
Aku menghela napas kasar kemudian mengalihkan pandanganku. Dengan gelembung air mata yang tertahan, aku berucap pasrah, "Terserah sajalah, aku tidak butuh. Kalau kau mau, ambil saja. Orang-orang tak pernah sekalipun bisa membuat hidupku tenang."
Aku berbalik dan berjalan dengan langkah yang tidak stabil meninggalkan pria yang berdiri termangu menatap punggungku dari kejauhan.
***
Angin berembus kencang. Bintang dilangit juga tampak bersinar terang. Tetapi, entah kenapa cahaya bulan tidak terlalu nampak. Saat ini di kota yang kupijak tampak lengang hanya satu atau dua kendaraan saja yang melintas dalam waktu 30 menit. Aku menghembuskan napas panjang seolah aku sedang berusaha menghempaskan batu yang berukuran besar. Ya, aku cukup putus asa karena hal ini. Rambut panjangku berkibar, gaun putih pendek yang ku kenakan juga ikut bergerak lembut. Aku menatap jauh selisir sungai deras yang mengalir tepat dbawah jembatan ini. Menerawang jauh sambil berpikir, kemana aliran sungai itu berhenti? Apakah aliran itu akan berhenti di laut? Akankah air itu bisa bercampur dengan air laut? Desiran angin semakin berembus kencang. Aku mengeratkan pegangan tanganku di tiang jembatan.
"Apakah hidupku akan segera berakhir?" Aku masih memandang aliran sungai yang saat itu cukup deras mengalir.
"Apakah aku bisa mati tanpa rasa takutku?" Begitulah yang kupikirkan sekarang.
Aku bahkan seperti tidak sadar kenapa aku bisa berada disini. Seperti ada seseorang yang menuntunku kemudian memberikanku jalan untuk memilih apakah aku akan hidup atau mati?
Tiba-tiba angin kembali berembus kencang, dengan rasa ketidakpedulianku pada situasi saat ini, aku meregangkan genggaman tanganku di tiang jembatan dan menginjakan salah satu kaki ke atas tiang jembatan. Kemudian disusul kaki kiriku. Kini masih tersisa dua tiang jembatan yang perlu ku naiki.
Aku melepaskan genggaman tanganku di pinggir jembatan. aku memejamkan mata, dan merasakan hembusan angin kencang menerpa wajahku. Hembusan angin itu kembali membuatku berpikir.
"Bahkan aku sudah kehilangan waktuku, aku juga kehilangan sesuatu yang kucintai, dan aku juga kehilangan apa yang kusukai dan saat ini aku kembali kehilangan sesuatu yang kucintai. Lalu, apakah masih ada harapan untukku di masa yang akan datang? Apakah aku masih pantas untuk berharap dan berdoa ketika takdir bahkan tak memberiku napas? Apakah aku masih pantas untuk berharap kalau semua akan baik-baik saja? Bukankah aku munafik jika aku tidak mengharapkan apapun?"
"Aku tahu mati tidak akan menyelesaikan apapun, aku tahu jika mati bukan sebuah pilihan yang benar. Tetapi, aku memilih jalan ini bukan karena aku menginginkanya tapi karena aku terpaksa memilihnya."
Aku membuka mataku, melangkahkan kakiku ke tiang ke dua jembatan. Satu per satu.
"Bohong jika aku tidak peduli apapun, bohong jika aku tidak memikirkan hal ini. Tapi sekali lagi, aku tidak punya alasan apapun untuk hidup."
Aku kembali menaiki tiang jembatan yang ketiga. Sedikit saja aku kehilangan fokus maka hidupku berakhir.
"Jujur saat ini aku sedang ketakutan, bahkan saat ini aku berharap masih ada seseorang yang membuatku yakin dan memberikanku alasan untuk hidup. Tapi, jika orang itu benar-benar ada dan aku kembali hidup. Apakah semua akan terlihat berbeda?"
Angin berembus kencang, udara dingin menusuk kulitku, aku mengeratkan pegangan tanganku di sisi-sisi tiang jembatan.
"Aku, aku bahkan tidak meminta untuk dilahirkan, aku bahkan tidak meminta untuk hidup tapi, tapi kenapa, kenapa engkau memberiku sebuah dosa yang tak ingin aku lakukan?"
" Orang bilang hidup atau mati itu pilihan bukan? Jika, jika pada akhirnya aku memilih mati. Akankah dosa besar akan datang padaku? Akankah aku masuk ke dalam neraka?"
"Aku pernah membunuh diriku, bahkan berkali-kali. Itu artinya, sekarang bukan masalah bagiku untuk membunuh diriku sendiri secara nyata. Tidak akan ada siapapun yang peduli bahkan jika aku mati."
Perlahan aku melepaskan genggaman tanganku dari sisi jembatan. Kali ini jika aku kehilangan fokusku maka aku akan mati.
"Mentalku bahkan sudah hancur sejak waktu itu. Sekarang aku bahkan tidak mempunyai alasan untuk hidup. Membunuh diriku sendiri adalah keahlianku. Jadi tidak akan terjadi masalah apapun jika aku mengharapkan diriku untuk mati."
Angin kembali berhembus kencang, dengan badan yang mulai terhuyung, mataku memejam. Samar-samar aku mendengarkan suara bisikan.
"TETAPLAH HIDUP MESKIPUN HIDUPMU ITU TIDAK BERGUNA. BAHKAN HIDUPLAH MESKIPUN HIDUPMU ITU SEBAGAI CONTOH KEGAGALAN."
"Apakah sekarang ini aku sudah gila?"
Sreett, tiba-tiba tubuhku terjatuh kebelakang. Badanku gemetaran, bibirku memucat, suhu tubuhku berubah dingin membeku. Kepalaku bersandar pada tangan seseorang yang wajahnya terlihat buram karena pandanganku sedikit memburuk akibat. Shock. Dia memelukku erat, merengkuhku erat sampai wajahku tenggelam ke dalam dada bidangnya. Aku merasakan air mata yang jatuh menetes di pundakku.
"Terimakasih telah percaya padaku, aku berharap perkataan atau bahkan satu kata yang aku keluarkan dapat menyelamatkan hidupmu. Tidak peduli bagaimana pun kau ingin mencoba untuk membunuh dirimu sendiri lebih baik jika kita mencoba untuk mencintai diri sendiri. Aku berharap ada suatu kata yang lebih baik daripada kata aku mencintaimu. Meskipun begitu. Aku sangat mencintaimu. Kamu sangat berharga."
Dia melepaskan rengkuhannya. Membiarkan badanku bersentuhan dengan kasarnya aspal jalanan. Terakhir dia melepaskan genggaman tangannya dan aku merasakan suhu hangat yang ia salurkan mulai mengalir ke seluruh tubuhku. Dia beranjak berdiri dan pergi perlahan meninggalkan aku. Sendiri.
***
"Kau sudah sadar?" Dia membawa segelas airputih. "Minumlah" dia memberikannya padaku.
Dengan sengaja aku menjatuhkan gelas yang ia bawa, gelas itu pecah disamping tempat tidurku. Aku mengambil pecahan kaca dan menyilet pergelangan tanganku beberapa kali. Darah langsung mengalir dan aku berteriak. Kejadian itu berlangsung cepat, bahkan dia sangat terkejut dengan apa yang aku lakukan. Dia langsung mengambil gulungan perban dan melilit pergelangan tanganku. Dia sangat khawatir bahkan aku melihat gelembung airmata hampir saja menetes
Aku diam. Tertegun. Tapi sebenarnya aku marah.
"Kenapa kau melakukan ini?" Kau bisa mengatakan jika kau memang tidak suka padaku." Dia memegang balutan lukaku kemudian mengelusnya perlahan seakan dengan elusan di luka tersebut bisa sembuh seketika.
"Aku sudah mengatakannya, tapi kau terlalu keras kepala, aku benci kau. Dan jangan lakukan ini lagi." Aku menghempaskan tangannya kasar dan segera bangkit dari dudukku. Keluar kamar dan ketika tanganku menyentuh pegangan pintu dia menarikku.
"Jangan pergi, biarkan aku mengobatimu." Aku melihat airmatanya menetes di pipinya.
"Memangnya kau ini siapa? Kau pikir dengan kau meneteskan airmata, aku akan luluh. Jangan berpikir, kalau aku lemah, jangan berpikir kau bisa membantuku. MENJAUHLAH DAN JANGAN GANGGU HIDUPKU LAGI. AKU BERHARAP AKU TIDAK BERTEMU DENGANMU LAGI."
Dia melepaskan tanganku perlahan, dan aku pun pergi dari apartmennya.
***
Aku tak tahu sebenarnya kemana aku akan pergi, kemana aku melangkah. Aku tak punya tujuan. Aku bahkan tidak lagi bisa merasakan sakit di pergelangan tanganku ketika aku melepaskan perban yang tadi ia lilitkan. Darah yang menetes mulai mengering. Dan aku menatap ada banyak sekali bekas sayatan di tangan kiriku entah ini sudah keberapa kalinya. Aku menatap langit, dan saat itu aku melihat air mulai menetes dari langit.
Yaa, hujan di pagi hari. Semakin lama hujan menderas dan aku melihat orang-orang yang tadinya berjalan tenang mulai panik berhamburan mencari tempat berteduh. Sedangkan aku? Aku tertawa, merasakan buliran air membasahi tubuhku.
"Kemana perginya takdir? Apakah masih ada satu takdir yang baik untukku" aku tertawa menangis dan menunduk menatap jalanan. Menangis terisak-isak. Aku tak tahu akan ada berapa pasang mata yang menatapku.
Entah kenapa aku merasa hujan berhenti, hanya ditempatku terduduk saja. Sisanya hujan masih meluncur deras. "Apa ini? Apakah awan melindungiku dari hujan?"
Aku menatap keatas dan melihat sebuah payung hijau melindungiku dari hujan.
"Sepertinya kau baik-baik saja?" Dia menatapku.
Aku tertegun sekaligus terkesima karena ternyata dia tetap datang dan mencariku, namun entah apa yang terjadi pandanganku mengabur dan kemudian aku jatuh tak sadarkan diri.
***
Lagi, aku tersadar di tempat asing, tempat dimana sebelumnya aku menyayat pergelangan tanganku dan melihat seseorang menangisiku tanpa alasan yang tidak aku ketahui.
"Kau menangis? Apa yang terjadi?" Dia menggenggam tanganku. Terlihat jelas wajah penuh ketakutan, kecemasan dan juga harapan.
Aku menatapnya kosong, pikiranku seperti hilang. Berusaha mengingat sesuatu yang sebelumnya tidak aku ketahui,
"Aku ... Aku ... " Entah kenapa, ucapanku terbata. Otakku berusaha mengingat tapi mulutku tidak bisa melanjutkan setiap ingatan yang aku alami.
"Tak apa ceritakan padaku, apa yang kau rasakan?" Dia masih menggenggam kedua tanganku, mengelusnya pelan.
Aku hanya terdiam. Bahkan detak jam sangat bising terdengar di gendang telingaku Hingga aku merasa mataku memberat dan terjatuh tertidur.
***
Suara musik terdengar berdebam-debam menggetarkan gendang telinga, jantung pun ikut berdetak cepat. Aku meliukkan pinggangku, menaikkan tanganku keatas dan menggerakkannya seirama dengan pinggang dan musik yang terdengar. Aku sangat menikmatinya. Aku tahu beberapa orang menatapku jalang bagaimana tidak, aku menggunakan rok diatas lutut, belum lagi baju dengan potongan crop pinggang dengan potongan panjang lengan baju 1/4 seperti balon dengan aksen pita. Menurutku baju ini tidak seseksi pakaian gadis malam lainnya yang biasa mengenakan pakain ketat dan menonjolkan dada dan pantatnya. Aku menangkap sepasang mata yang sepertinya tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi apakah dia orang yang sama?
Aku tersenyum sinis menatap pria bermata nakal, beberapa pria memang tidak berani mendekatiku tetapi tidak banyak juga yang berani mendekatiku. Salah satu pria yang berani mendekatiku kini sedang ikut serta menikmati lagu dengan tubuh yang mulai menari dan perlahan mendekat ke arah belakang tubuhku, sesekali bagian tubuhnya menyenggol bagian tubuhku, biasanya mereka yang melakukan gerakan itu untuk memberitahu bahwa dia tertarik dengan si wanita dan mengajaknya menari bersama. Kini tubuh bagian belakangnya semakin merapat ke arah tubuhku, kemudian memajukan lengannya tepat disamping kepalaku dan sesaat kemudian menjentikkan jarinya di samping wajahku
Aku melirik kearahnya dan tersenyum sinis, membalikkan badanku, mengalungkan tanganku ke lehernya dan mendekat tepat di bagian tengkuknya, meniupnya pelan sampai tubuhnya meregang karena hembusan udara dingin yang menusuk kulit lehernya.
Aku pun semakin mendekat dan merapatkan badan kemudian berbisik tepat ditelinganya.
"Bagaimana jika kau aku bunuh? Bukankah permainan ini semakin menyenangkan?" Aku memberikan sentuhan ringan di dada kemudian merambat keatas leher sampai kepipi dan mengusapnya lembut. Seringaiku pada pria yang perlahan meregang dan terkulai lemas tak berdaya. Dia telah tewas.
Aku melihat jasadnya begitu jelas terkulai dan terjatuh kebawah dari atas ketinggian. Apakah aku merasa iba? Apa aku merasa bersalah? Apakah aku harus senang, bahagia atau tertawa? Jawabanku adalah aku sendiri bahkan tidak tahu ekspresi atau reaksi apa yang harus aku berikan untuk menunjukkan moment ini.
Aku berjalan menuju lantai bawah, melewati kerumunan orang yang terkejut dengan kematian pria itu. Aku hanya terdiam tidak peduli ketika setiap orang yang aku lewati berbisik dan bergedik ngeri melihat jasad pria itu. Bagiku mereka bukan apa-apa.
Langkahku terhenti, ketika pria dengan tatapan teduh itu berada tepat dihadapanku. Aku suka mata itu, penuh ketakutan dan kekhawatiran. Tak lama pandangannya beralih ke arahku.
"Kenapa sulit sekali bagiku untuk menuju ke arahmu? Apa aku harus membunuh banyak orang untuk menuju ke arahmu. Mau aku beritahu sesuatu?" Aku mendekat kearahnya menepis jarak.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mendekatiku atau bertindak peduli padaku. Kau bahkan tahu bekas luka tangan kiriku. Kau tahu sampai kapanpun luka itu tidak akan sembuh. Kau lihat orang itu, aku membunuhnya karena bersikap kurang ajar."
" Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?"
"Jika aku akan membunuhmu apa kau akan menyerahkan nyawamu untukku?" Sesaat aku terdiam. "Aku mencintaimu, kau tahu artinya?"
Dia terdiam, sebenarnya meskipun terdengar seperti pernyataan cinta tapi itu hanya sebuah omong kosong.
"Bekas luka ini menunjukkan ajalku, aku tidak akan hidup lama. Bahkan meskipun kita bertemu lebih awal, waktu tidak akan membuat ajalku berhenti. Luka ini juga tidak akan sembuh meskipun kau mengobatiku ratusan kali."
Diam, dia tidak bertanya atau menanggapi perkataanku.
"Ketika sang Ratu mengatakan bahwa dia mencintai seseorang maka pilihan orang itu ada dua, dibunuh atau membunuh. Lalu apa pilihanmu?" Aku memegang pundaknya, menepuknya pelan.
"Bagaimana jika aku tidak memilih keduanya?"
"Tidak ada, kau hanya bisa memilih satu diantara dua pilihan. Kau pilih yang mana?"
"Jika kau seorang Ratu maka aku harus menjadi pangeran bukan? Artinya kau akan membunuhku."
Aku tertawa, "Aku tidak menyangka jika kau cukup cerdas. Sayangnya aku tidak punya banyak waktu untuk bermain." Aku terdiam, kemudian menghela napas kasar, "tetapi sebenarnya, kau salah. Jika aku seorang Ratu maka aku tidak boleh mengucapkan kata cinta. Jika seorang ratu mengatakan bahwa ia mencintaimu dan kau juga dalam dasar hatimu mencintaiku sama artinya jika kau akan membunuhku."
Dia terdiam, wajahnya tampak berkerut tidak mengerti.
"Kata cinta adalah kata terlarang sang ratu. Seorang ratu tidak boleh mencintai ataupun dicintai. Ratu adalah tunggal. Jika dia mengucapkan cinta pada seseorang maka satu nyawanya menghilang. Kau lihat sayatan pergelangan tanganku bertambah." Aku menunjukkan sisi pergelangan tangan kiriku. "Hanya perlu satu kata cinta maka aku akan mati."
"Bagaimana bisa?" Nadanya mulai berubah parau.
"Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu. Sekarang giliranmu, apa kau juga mencintaiku?" Untuk pertama kalinya sisi emosiku kembali, aku merasakan wajahku berkerut dalam penuh harap. Bahkan untuk terakhir kalinya Aku bisa berharap pada seorang manusia yang seharusnya ku benci.
"Aku ingin mati lebih cepat, katakanlah!" Aku memegang kedua pipinya, sedikit mengusapnya, menanti jawaban.
****
Sepatu heels merah yang aku pakai saat ini menuntunku untuk berjalan ke suatu tempat. Lorong demi lorong yang begitu sunyi terus aku lewati, hanya derap sepatu heelsku yang bergemelotak terdengar di setiap lorong.
"Apa kau tahu legenda sepatu merah sang ratu? Itulah aku, aku sang ratu. Sudah 3 tahun aku hidup seperti terjebak dan terjerembab ke lembah dasar. Tetapi pada akhirnya, sepatu merah ini tidak membawaku kearah manapun. Sepatu itu bahkan tidak pernah mengabulkan doaku. Tetapi satu, hanya satu yang ku tahu, sepatu merah ini selalu membawaku ke arah kematian. Kematian abadi."
Kesunyian seakan makhluk yang paling dekat denganku. Dimanapun aku berada kesunyian ini tak akan pernah hilang.
Tak ...
Tak ...
Tak ....
Di lorong, sekarang ini aku tahu siapa diriku sebenarnya, Apa yang aku pikirkan, apa tujuanku saat ini. Kini aku mengetahuinya. Setelah kepergiannya, aku pikir aku tidak bisa melihat apapun, semuanya terlihat kelam dan kelabu. Bahkan, ketika pagi datang menyambut diriku yang lain berkata
"apakah ini berkat dari Tuhan? Apakah aku harus bersyukur ketika aku masih bisa merasakan pagi dan membuka kedua mataku?"
Perasaan berdosa yang aku alami tak pernah hilang. Rasa bersalah dan betapa kejamnya ketika aku tahu aku masih hidup. Membuatku tersadar akan sesuatu yang seharusnya aku lakukan sejak dahulu.
Mataku tertutup, dingin air di pergelangan kakiku rasanya seperti membeku. Aku? Sekarang ini sudah tidak mempedulikan apapun, daripada aku menjadi mayat hidup. Bukankah lebih baik jika aku benar-benar mati?
Aku tenggelam di dalam air musim dingin. Seluruh tubuhku tenggelam mengikuti arus air. Rasanya? Rasanya seperti cahaya matahari yang menyiram lembut seluruh kulitku, aku merasa hangat, aku merasa bahwa sekarang aku bebas untuk melakukan semua yang ku mau. Aku tidak perlu merasakan kesakitan lagi. Aku tidak perlu menjalani hidup yang menyedihkan lagi.
Sekarang, aku bisa menemuinya. Aku bahagia atas apa yang aku lakukan hari ini. Aku tidak akan pernah menyesalinya bahwa aku memilih untuk mati dan meninggalkan semuanya.
Aku bahkan tidak punya alasan kenapa aku harus mempertahankan hidupku, alasan kenapa aku hidup atau bahkan sekalipun aku tak pernah berharap untuk dilahirkan. Lalu, untuk apa aku harus menanggung lebih banyak dosa, kenapa aku harus mengalami semua penderitaan yang seharusnya tidak aku alami? Aku tidak memilih untuk hidup bukan aku yang menginginkannya. Jadi untuk apa? Untuk apa aku berada disini, jika aku harus mengalami ini.
Tubuhku terhanyut gelombang air, perlahan aku merasa napasku tercekat seperti tercekik oleh ribuan tangan, jantungku seperti dipukul ribuan batu, bahkan air mulai melesak kedalam rongga mulutku, memenuhi isi dalam tubuhku.
Bahkan disaat seperti ini, aku masih berharap seseorang menyelamatkan aku.
"Tolonglah aku, kumohon"
Kata terakhir yang aku ingat. sampai pada akhirnya aku tidak merasakan apapun karena tubuhku mulai melemas dan membatu.
****
3 tahun yang lalu ...
Hujan deras sedang turun di belahan kota Serenande. Sebuah kota dengan tingkat perekonomian yang maju bahkan pendatang yang menginjakan kaki di kota ini bisa mendapatkan banyak uang hanya dengan bekerja paruh waktu.
Keindahan kota yang memikat setiap orang yang melintas di kota ini, gedung pencakar langit yang indah, kecanggihan teknologi yang luar biasa ajaibnya. Namun, percaya atau tidak kota ini memiliki sebuah legenda yang di ceritakan secara turun temurun oleh para warganya.
"Siapapun orang yang memiliki jiwa yang lemah, penuh dendam, amarah, nafsu dan memiliki keinginan untuk mati serta memiliki jiwa pembunuh. Datanglah kepada Ratu maka ia akan membantumu untuk mengabulkan doamu."
Kata-kata itu seperti sebuah kata kramat yang tidak boleh seorang pun mengucapkan kata itu secara langsung. Bahkan siapapun orang yang mendengarnya mereka akan ketakutan, berlari terbirit-birit atau menghindari kata itu sejauh mungkin.
Meskipun begitu, tak pernah ada seorang pun yang tahu kenapa kata itu terlarang atau apakah memang betul ada kisah legenda yang mendasari kata kramat itu. Bahkan di kota ini tak ada sekalipun orang yang tahu siapa 'Ratu' dibalik kata kramat itu?
Seakan kata itu memang hanya mitos belaka. Tanpa kecuali.
****
Aku menghirup napas panjang kemudian menghembuskannya pelan. Sudah 3 tahun aku berada dikota ini. Mencari kebenaran dari legenda sang Ratu. Tapi hasilnya nihil tak ada yang tahu dan semua orang menutup diri ketika aku menyebut kata "sang ratu."
Berdiri di ruangan ini dengan jendela kaca berlukiskan keindahan malam kota serenande. Membuatku tersadar bahwa usahaku sia-sia mencari keberadaan sang ratu.
"Kau, kenapa datang kemari? kenapa kau mencari legenda sang ratu?" Ucap seorang wanita cantik dengan balutan kemeja kantoran.
Aku bertemu dengannya ketika pertama kali datang ke kota ini. Waktu itu hujan sama derasnya, petir menyambar ke segala arah dengan tangan dan baju yang berlumuran darah aku berlari berharap sang ratu akan menemukanku, karena aku baru saja membunuh cinta pertamaku dengan kedua tanganku.
Namun, seperti yang ku katakan tadi semua orang seolah menutup mata enggan membuka mulut. Aku terus berjalan mencari tempat untuk bisa ku singgahi sampai aku bertemu dengannya dan ternyata wanita itu menawariku untuk singgah di tempatnya.
Memberikan aku tempat tinggalnya, mengganti baju lusuhku dengan gaun indah berwarna hitam, menata rambutku, bahkan dia juga memberikanku hidangan lezat yang belum pernah ku nikmati sebelumnya.
Lamunanku terhenti ketika sebuah suara merasuk ke dalam telingaku.
"Kemarilah, aku membawakanmu sesuatu." Wanita itu duduk di sebuah sofa yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku pun mengikuti perintahnya dan duduk di seberang sofa.
"Lihatlah, apa yang aku berikan padamu!" Dia menyodorkan sebuah kotak kearahku.
Aku membuka kotak itu, seketika mataku menyipit, aku melihat sebuah sinar terang dari dalam kotak yang ternyata berisi sepasang sepatu heels berwarna merah.
"Aku menemukannya, sepatu merah sang Ratu. Legenda itu memang benar-benar ada."
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar