Haai haiii ... Gimana kabarnya? Apakah hari kamu menyenangkan? Kamu bisa loh cerita sama aku tentang apa aja yang udah kamu alamin hari ini. Wah pasti seru sih.
Oh iya, ini adalah cerita perdanaku di tahun 2021. Cepet banget yaa, aku ngerasa belum bisa apa-apa tapi udah main aja 2021 wkwkwkwk
Eh kalo boleh tahu kamu umur berapa nih? lagi sekolah kah atau lagi kuliah atau kerja?
Kalo aku umur 20 tahun dan masih kuliah mau masuk semester 6 nih. Ah aku udah tua yaa? tapi jiwa umur 15 kayaknya deh hehehehe duh banyak ketawa yaa aku. Maaf, maaf.
Udah ah, pasti udah kepo nih sama ceritaku atau malah nggak? tapi ya ngga apa-apa sih kalo ngga kepo, aku cuman sharing aja kok. Loh, emang aku mau sharing apa sih?
Sini ... Sini ... Ssstt ini rahasia yaa, hanya aku, kamu, dan Tuhan yang tahu.
Kamu pernah denger yang namanya quarter life crisis ngga? Pasti pernah lah.Tapi kamu tahu ngga sih quarter life crisis tuh apa? Soalnya nih yaa, udah banyak banget platform media sosial yang banyak membahas tentang quarter life crisis, ya ngga sih?
Hmm, kamu ngga keberatankan kalo aku bahas sedikit tentang quarter life crisis ini, supaya kamu lebih memahami tentang salah satu tahapan perkembangan manusia karena menurutku ini sangat penting sih buat kamu terutama untuk usia muda kayak kita ini.
Pertama, aku mau bahas salah satu pendapat dari tokoh psikologi, beliau bernama Erikson (1968), beliau memaparkan bahwasanya ada delapan tahapan yang dilalui oleh setiap individu yaitu bayi, balita, kanak-kanak awal, kanak-kanak pertengahan dan akhir, remaja, dewasa awal, dewasa menengah, dan dewasa akhir. Masing-masing dari setiap tahapan perkembangan memiliki karakteristik dan tugas yang berbeda-beda (Anshory, Yayuk, & Worowirastri, 2016). Nah jadi, setiap tahapan perkembangan itu memiliki ciri khas dan karakteristiknya sendiri-sendiri tetapi ada salah satu perkembangan manusia yang dinilai cukup penting untuk diperhatikan yaitu, masa peralihan antara masa remaja ke masa dewasa. Menurut Papalia dan Feldman (2014) pada masa ini seseorang sudah mulai megeksplorasi diri, mulai hidup terpisah dari orang tua dan mandiri, dan mulai mengembangkan sistem atau nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya. Biasanya yaa, masa-masa peralihan seperti ini remaja yang berada di fase ini memiliki banyak sekali pilihan yang tersaji di lingkungannya baik lingkungan sekolah (ada organisasi/UKM dsb), teman (mau yang bergaul dengan orang seperti apa) atau keluarga (biasanya orang tua yang menentukan pilihan kita, misal : lulus kuliah harus daftar CPNS).
Dengan banyak pilihan tersebut, kita tuh jadi bingung dan bertanya kepada diri sendiri,
"Aku harus pilih apa yaa?"
"Kalo aku lulus terus daftar CPNS aku bahagai ngga yaa nantinya?"
"Ini bener ngga sih pilihan aku? aku kok ngerasa salah yaa"
"Temenku dan saudara aku udah bisa lakuin hal A,B , C yaa aku kok cuman stuck aja disini. Mimpi ku apa sih?"
Apakah kamu merasa terwakilikah? Apa kamu merasakan hal yang sama? Atau justru kebalikannya.
Sebenernya hal yang seperti itu relatif sih. Jadi, ada individu yang merasa senang dan antusias dan tertantang untuk menjelajahi kehidupan baru yang belum pernah dirasakan, namun ada juga yang merasakan kecemasan, tertekan dan hampa (Nash & Murray, 2010). Biasanya, Individu yang di dalam melewati tahapan perkembangannya tidak mampu merespons dengan baik berbagai persoalan yang dihadapi, diprediksi akan mengalami berbagai masalah psikologis, merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian dan mengalami krisis emosional atau yang biasa disebut dengan quarter-life crisis.
Menurut Fischer (2008) quarter-life crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. Mendukung pernyataan tersebur Nash dan Murray (2010) mengatakan bahwa yang dihadapi ketika mengalami quarterlife crisis adalah masalah terkait mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitasnya, serta kehidupan pekerjaan dan karier. Permasalahan-permasalahan tersebut muncul ketika individu masuk pada usia 18-28 tahun atau ketika telah menyelesaikan pendidikan menengah, contohnya mahasiswa. Menurut Alifandi (2016) lompatan akademis yang sering dialami oleh mahasiswa ke dunia kerja terkadang menimbulkan luka dan ketidakstabilan emosi sehingga mengalami krisis emosional.
Okey, sampai sini apakah bisa di pahami? kalo kamu penasaran terkait materi quarter life crisis kamu bisa mencari di jurnal atau di artikel lain atau di platform lain juga boleh karena ada banyak benget pilihan yang bisa kamu baca.
Lanjut ke bagian dua, finally, aku bisa bagi pengalaman aku selama mengalami quarter life crisis sama kamu. Jujur, aku belum pernah ceritain masalah ini ke siapapun, ada sih pernah cerita tapi mungkin ngga sedetail ini.
Jadi sebelum cerita aku berharap kamu bisa baca cerita aku ini dengan baik yaa, karena jujur aku takut kalo ternyata kamu merasakan perasaan yang sama kayak aku dan kamu ngga tahu ini perasaan apa? atau kamu ngga punya temen sharing atau keluarga yang dengerin cerita kamu. Kamu bisa loh berbagi sama aku, aku akan mendengarkan masalah kamu dengan sepenuh hati. Okey?
Aku mulai yaa, siapkan minuman hangat dan tempat nyaman untuk membaca yaa...
***
Perasaan 'ngga nyaman' aku alamin sejak awal semester lima. Mungkin karena semester lima itu puncak perkuliahan kali yaa, jadi di semester lima itu aku ada banyak praktek kelas, banyak menyusun laporan, melakukan roleplay dan melakukan tes ya begitulah. Seharusnya kelas itu diadakan secara offline tetapi karena pandemi corona jadi yaa online. Dengan jadwa praktek yang begitu banyak juga tuntutan laporan yang seabreg bikin aku jadi ngerasa tertekan.
Aku sendiri sebenernya tipe orang yang gampang banget stress dan pencemas. Hampir segala hal yang aku lakuin itu bikin aku stress dan cemas gitu loh, jadi waktu awal bahas kontrak perkuliahan yang ternyata kayak gitu yaa, itu aku udah stress duluan, deg-degan, takut dan cemas. Padahal baru kontrak doank belum materi. Kamu gitu ngga sih? please apakah ini suatu keanehan?
Lanjut, setelah perkuliahan mulai berjalan di mulai dari pagi yang suram (menurutku, karena jujur aku benci sekolah , ngga benci sih lebih ke ngga suka aja) itu udah di kasih tugas dan lanjut ke matakuliah berikutnya dan ke hari selanjutnya sampai seterusnya.
Sampe pasti adalah suatu titik kejenuhan buat kuliah, kayak kamu pengen berhenti dan istirahat tapi kamu dipaksa buat lanjut, kayak robot. Sampai aku ngerasa mual dan stress liat hp walaupun layar mati dan notifikasi aku silence (aku ngga suka sesuatu yang berisik dan menganggu guys wkwk) pun aku stress, kepala udah pusing pengen menghilang. Mau aktivitas jadi ngga nyaman karena takut ketinggalan kuliah. Lagi yaa, aku itu tipe orang yang ngga bisa santai sebelum berakhir dan sesuatu yang ngga sesuai pada jalurnya karena again itu bikin aku stress.
Alhasil, karena aku ngga nyaman buat tinggalin hp dan aku butuh hiburan mulailah aku buka dan scrolling tik tok, instagram, twitter, quora, youtube, story WA. Udah itu berasa kayak lingkaran setan yang aku ulang. Sampe kepalaku rasanya penuh dengan informasi dari media sosial itu, aku stress dan mual. Akhirnya aku istirahat dari media sosial.
Setelah aku ngerasa otakku normal aku ulangin lagi tuh aktivitas itu, aku juga sering banget tidur telat. Tapi aku ngga peduli, selama aku suka yaa aku lakuin.
Sampailah ke titik utama perkuliahan, praktek role play dan membuat laporan juga jurnal ilmiah. Sebenernya perkuliahan semester lima itu aku cukup males jadi aku ngga begitu serajin dulu gitu cuman aku memaksakan diri aja buat semangat kuliah. Mungkin karena terpaksa semangat kuliah tetapi pikiran itu ngga bisa berbohong alhasil usahaku aku akui emang kurang maksimal, roleplay yang aku lakuin sangat ngga maksimal, aku banyak lakuin kesalahan. Waktu itu aku berusaha buat menyamangatin diri sendiri bahwa aku sudah melakukan yang terbaik, aku berusaha mengapresiasi diri sendiri tapi air mata ngga bisa bohong. Aku nangis sejadi-jadinya, aku acak-acakin rambut, aku jedotin kepala ke tembok (Tapi ngga keras kok, masih sadar kalo sakit aku tuh) terus aku sobek kertas hapalanku, aku marah sama diriku sendiri, aku benci diriku sendiri, aku lepas earphone biar aku ngga terpuruk liat temen-temen aku yang bagus-bagus. Parahnya, ada kakak aku disitu, tapi aku ngga tahu yaa dia itu pura-pura ngga tahu atau emang ngga peduli karena dia ngga komentar atau tanya aku kenapa. sedih sih. Tapi aku emang agak nutupin sih, cuman pasti ketara lah.
Kejadian kayak gitu beberapa kali terulang tapi, aku udah bisa menerima keadaan sih, kecewa ada, benci ada tapi aku lebih kepasrah (ya udah mau gimana lagi). Hari terus berlanjut, deadline tugas betebaran, aku berusaha nyantai karena saking banyaknya, aku bingung akhirnya ngehindar dari kewajiban. Aku buka tuh ig story, story WA dan wah panik, story temen-temen aku pada ambisius. Disitu aku stress, kepalaku sakit, aku memaksakan diri buat kerjain tugas kuliah.
STOP dulu, napas dulu, jujur kalo dinget lagi yaa, ini kepala sakit sama perutku mual.
Jangan lupa regangkan badan dan kepala, yes?
Bicara soal media sosial, jujur itu sangat berpengaruh sih sama kesehatan mental aku, aku mulai lebih ngga nyaman karena aku liat media sosial. Jadi karena dasarnya aku orang yang gampang stress dan pencemas jadi waktu aku udah dapet beban dari tetekbengek perkuliahan dan tambah kebebanan kehidupan orang-orang di media sosial juga ada tekanan yang dateng secara ngga langsung dari keluarga buat aku jadi semakin 'gila' istilahnya. TMI, aku ngga punya temen yang bener-bener deket yaa kayak temen yang bisa aku ajak curhat itu ngga ada (Aku punya kesulitan guys dalam membangun hubungan sosial dan relasi), keluarga, juga aku ngga pernah cerita apapun, jadi waktu aku stress dan ada banyak masalah sekalipun aku ngga cerita, aku sedih, sakit hati, atau apalah tentang berbagi pikiran dan perasaan aku orang yang sangat tertutup. Tapi percaya ngga percaya aku di rumah orang yang selalu menunjukkan kalo aku periang dan ngga punya masalah hidup wkwkwk. lagian orang rumah kayak ngga tanya atau peduli jadi yaa gitu. Jadi ya bisa dibayangkan, hidupku seperti apa.
Terus aku gimana kalo ada masalah? Gimana cara aku menyalurkan perasaanku?
Biasanya aku bikin vidio, disitu aku cerita dan aku simpen buat diri sendiri tapi sayang sih, karena aku ngga bisa bikin vidio setiap saat karena susah cari waktu sendirian di rumah. kedua, aku denger lagu-lagu terutama lagunya bangtan. related banget sih itu dan twitter private account. Menurutku kegiatan itu sedikit menyalurkan perasaanku.
Kalo aku boleh menyarankan, sebaiknya kamu jangan tiru kegiatan itu. Kenapa? Kegiatan dengan menyalurkan perasaan dengan cara kayak gitu tuh ngga efektif, karena masalah itu cuman berputar aja di kamu, jadi kayak dari 'aku untuk aku' ngga ada sensasi kayak perasaan lega atau pikiran kamu lebih fresh. Sifatnya itu sementara kalo metode itu. Jadi, seandainya kamu punya temen deket atau keluarga yang deket sama kamu, lebih baik kamu cerita ke mereka karena itu sangat efektif dan membantu pikiran kamu daripada harus di pendam sendiri. Trust me!
Aku lanjut yaa ceritanya ..
Mulai tuh, jadi ngabandingin potensi diri sendiri sama temen-temenku, aku jadi terlalu berusaha keras tapi dasarnya males jatohnya memaksakan diri. Belum lagi perasaan setan (iri&dengki maksudnya) setiap liat media sosial, bisikan setan dari tim keluarga (tahu sendirilah), keadaan sosial dan lingkungan yang ngga mendukung. Belum lagi, liat anak orang kok udah A, B C aja sih padahal kita seangkatan. Aku ngerasa aku cuman berdiri di tempat sedangkan orang lain udah jauh di depan, aku emang punya mimpi tapi kayak ngga tahu tujuan gitu. Aku berusaha keras tapi aku ngerasa itu ngga guna.
Biasanya orang nih yaa liat motivator wah langsung termotivasi, semangat oke. Tapi aku, malah cuman iri dengki doank. Jadi, kalo ada orang memotivasi aku yaa cuman kayak 'wah keren yaa dia bisa gitu, kok aku payah banget' terus liat orang kerja 'wah kerja keren yaa, aku gimana?' kesulitan aku dalam membangun hubungan dengan orang tuh bikin aku jadi terpuruk banget, aku ngga bisa ikut organisasi (selain aku ngga tahu passionku), otaku yang pas-pasan buat aku minder, aku bahkan udah bayang hal negatif saat berjuang cari kerjaan yang terpandang, takut omongan orang yang bilang sarjana pengangguran. Banyak banget pikiran negatif tentang masa depan. Takut aja kalo ternyata masa depan ngga sesuai ekspektasiku atau rencanaku. Disitu aku frustrasi jadi tingkatanyaa udah ngga stress lagi tuh.
Dan selama itu pula aku ngehindar, lari dan berusaha menghibur diri. Pura-pura bahwa semuanya akan baik-baik aja. Kata-kata tentang psikologi ngga ngaruh buat aku. Terus deh hidup begitu.
Udah banyak kan pemicunya, apa coba?
1. Tekanan dari kuliah
2. Tuntutan sosial
3. Kebingungan
4. Flight dari masalah
Terus apa aja sih yang aku alamin?
1. Ngga pernah sekalipun berhenti berpikir tentang masa depan.
2. Semua metode yang aku bilang tadi, ngga mempan bahkan lagu bangtan yang motivated banget ngga efek sama sekali.
3. Sering banget nangis karena terlalu sensitif. Jadi ngga perfect dikit marah sama diri sendiri dan nangis.
4. Sering banget berharap buat mati. Bahkan ada salah satu lagu bangtan yaa sangat aku banget, judulnya so far away ada lirik yang kalo ngga salah bunyinya gini "aku hidup karena aku ngga bisa mati dan karena aku ngga bisa mati aku hidup." Itu bener-bener kata-kata favorit banget dan related banget sama aku.
5. Kalo emang ngga bisa mati cepet yaa aku pingin bisa terbebas gitu dari dunia.
Jadi kayak hampir setiap waktu aku mikirin itu. Coba deh dengerin lagunya itu, kamu nanti tahu apa yang aku maksud.
Terus ada lagi lagu bangtan yang related juga sama aku judulnya :
1. So far away
2. Intro : Never Mind
3. No more dream
4. N.O
5. Tommorow
6. So what
7. Sea
8. Zero oc'clock
9. Lie
10. The last
Dan masih banyak lagi.
Lagu- lagu itu yang bener-bener aku ngerasa dimengerti gitu. Tapi, yaa ternyata waktu aku jatuh, ngga ada artinya juga.
Aku percepat aja, karena kalo kalian denger lagu itu, itu udah menggambarkan banyak hal tentang apa yang aku alamin.
Sampai ke titik dimana aku ngerasa "aku tuh bukan kayak gini, aku tuh bukan gini, ini udah bukan aku lagi."
Kenapa? Aku kenapa bilang gitu?
Sebenernya ada pemicu yang lebih besar daripada yang tadi (jadi setelah semester 5 selesai yaa) yang semakin memperparah keadaan aku. Jadi semenjak masalah besar hampir setiap menit aku nangis, fruatrasi, putus asa, keinginan mati semakin kuat, dan kehilangan semangat buat melakukan hal-hal yang dulu buat aku seneng sekarang kalo aku lakuin itu aku nangis, hampa dan hambar. Setiap malem aku nangis, jadi bener-bener hidup segan mati tak mau.
Dan puncaknya, ketika aku berusaha menerima keadaan, memeluk semua luka ibarat kamu memeluk kaktus atau pisau yang tajam, kamu yang mau ngga mau kamu harus peluk erat. Sakit? Iya sakit banget, sampe kamu ngga bisa ngerasain darah atau bahkan tubuh kamu sendiri, ketika kamu berdamai dengan luka.
Kalo ditanya apa sekarang aku lebih baik? Iya hidupku mulai normal lagi dan lagi berusaha untuk terus menerima apa yang terjadi dan menghindari pemicu negatif dari media sosial. TMi, aku maksimal pegang hp 3 jam aja yang dulu bisa sampe 9 atau bahkan 10 jam lebih pegang hp.
Kalo dibilang apakah masih separah itu quarter life crisis ku? Hmm kayaknya ngga sih. Kalo dulu aku akui parah banget. Sekarang sih sekadarnya aja hehe.
Aduh sebenernya mau cerita panjang karena ini aja kurang lengkap sih, tapi takut kamu bosen. Gimana?
Masih banyak yang harus aku ceritain tapi, coba donk komentar, apakah perlu dilanjut atau ngga? Okey.
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar